Kamis, 19 April 2012

KEKAYAAN BAHASA MENJADI SEBUAH IRONY DAN TANDA TANYA


Betapa maraknya kasus-kasus politik, ekonomi, serta kehidupan sosial yang terjadi, membuat dilema besar bagi Bangsa Indonesia. Suatu keterpurukan yang akhirnya dapat menggerakkan hati para generasi muda untuk beramai-ramai berdemonstrasi bahkan ikut memutar otak demi menghentikan gejolak panas yang akhirnya membakar semangat patriotisme dalam bentuk yang kadang klise dan seolah hanya memamerkan kekuatan sejelas fatamorgana. Terekam di balik layar kaca dan nampak jelas terlihat bahwa permasalahan bangsa ini hanya berkisar dan berhenti jikalau bukan di depan Gedung DPR, mungkin pemajangan huru-hara sebagai bentuk protes bahkan berdalih mendukung yang tidak jarang dilakukan secara anarkis oleh para mahasiswa yang tidak lain adalah Generasi Muda Bangsa Indonesia. Ironi memang jika kita kembali merenungkan apa sebenarnya yang menjadi alasan para generasi muda ikut membangkang dan menggembor-gemborkan suatu sikap yang menurut mereka adalah bentuk dari cinta tanah air dan nasionalisme. Mengapa?...karena sikap nasionalisme dapat dilihat dari bagaimana generasi muda menghargai dirinya sendiri dengan kemampuannya untuk mencintai kekayaan dan keanekaragaman budayanya. Namun seiring berjalannya waktu, entah lupa,tidak ingat, bahkan kurang tahu, pemakaian Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional dan Bahasa Daerah sebagai Bahasa Ibu menjadi hal yang tersingkirkan. Kurangnya kesadaran untuk mencintai dan memperjuangkan kekayaan bahasa sebagai bentuk sikap nyata dari nasionalisme membuat suatu tanda tanya besar bagi Bangsa Indonesia dan menjadi suatu hal yang ironis dalam teropong dunia.

Kekayaan bahasa menjadi sebuah irony dan tanya besar bagi Bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, sikap nasionalisme yang anarkis lebih menonjol dibandingkan dengan rasa kesadaran untuk bercermin dan membenahi deklarasi Sumpah Pemuda 1928 tentang Berbahasa Satu Bahasa Indonesia dan kekuatan Bhineka Tunggal Ika dalam paradigma kebudayaan bahasa setiap suku daerah kita sendiri. Sudahkah kita berbahasa Indonesia dengan baik dan benar serta menjunjung tinggi bahasa daerah sebagai kebanggaan dari keanekaragaman Budaya Indonesia?

Jawabnya mungkin sudah..,namun siapa yang tahu, ternyata dibalik kemajuan taraf hidup yang pesat serta masuknya budaya-budaya asing yang kadang membawa dampak negatif bagi bangsa kita, membuat kita lupa akan kaidah-kaidah berbahasa Indonesia dengan baik dan benar serta melupakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Alasan yang sangat sering didengar dan menjadi kekuatan bahasa yang “acak adut” itu adalah bahwasannya para generasi muda hanya ingin mengikuti trend yang menganak jaman. Bahasa asing kadang lebih mendominasi dan membuat dampak terciptanya bahasa kreol, yaitu bahasa campuran antara Indonesia dan bahasa asing seperti contohnya Bahasa Inggris. Tidak itu saja, bahasa gaul seperti “lo untuk panggilan kamu dan gua untuk panggilan saya” telah merajalela dan menjadi bahasa yang sangat biasa dikalangan generasi muda bahkan para orang tua pun mengikuti trend jaman yang menyudutkan keberadaan bahasa kita ini. Tragis dan ironi memang, disaat banyak orang asing yang belajar serius Bahasa Indonesia, dan mengapresiasi budaya kita, ada sebagian orang Indonesia yang justru melecehkan dan menginjak-injak bahasa kita, dengan menciptakan bahasa kreol dan bahasa gaul yang tidak sama sekali mencerminkan budaya bangsa dan sikap nasionalisme. Sadarkah, wahai bangsa Indonesia, bahwa budaya dan bahasa kita itu sangat dipuja-puja oleh orang asing? Beberapa penelitian menyebutkan bahwa ternyata Bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa dunia yang sangat mudah dipelajari tata penggunaanya, bahkan beberapa univeritas di Indonesia memiliki Fakultas Sastra Indonesia dengan begitu banyak orang asing sebagai mahasiswanya. Sebuah tanda tanya besar sudah seharusnya menggelayut diantara selubung-selubung otak kita. Akankah kita mampu mempertanggunjawabkan bahasa yang kita punya sebagai sikap dari nasionalisme? Apakah kita masih merasa malu melestarikan bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang menjadi suatu kebanggaan identitas bangsa kita yang beragam ini?


Lebih condong kita memperhatikan salah satu bahasa suku daerah Sumatra yaitu Bahasa Lampung. Jika kita bandingkan dengan Jogjakarta, Manado, Palembang, bahkan Ambon, bahasa Lampung cukup ironis ditempatkan di posisi hampir terakhir untuk kemampuan melestarikan bahasanya sendiri. Mengapa? Setiap transmigran, atau hanya pendatang yang berkunjung ke beberapa daerah yang disebutkan diatas, dapat dengan cepat mendapatkan atmosfir bahasa dari daerah itu sehingga rasa keasatuan daerah tersebut benar-benar kental dan kuat. Namun apa daya dengan daerah Lampung, daerah yang disebut sebagai gerbang sumatra ini ternyata lebih banyak menggunakan bahasa kaum metropolitan atau bahasa gaul dan justru melupakan adanya Bahasa Lampung sebagai identitas dari Daerah Lampung itu sendiri.

Berbagai macam alasan pernah terlontar saat observasi terhadap beberapa remaja di salah satu daerah di Bandar Lampung. Mereka lebih memilih untuk tidak peduli dengan keharusan memakai Bahasa Lampung, yang mungkin hanya bisa didapatkan dalam pendidikan formal seperti di sekolah. “Daripada gua di cuekin, trus dibilang kampungan sama temen-temen gara-gara make Bahasa Lampung waktu lagi ngumpul, lebih baik gua ngomong selayaknya anak-anak sekarang biasa ngomong….malu donk bawa bahasa kampung ke kota..!!”. Malu dan gengsi, itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan situasi para generasi muda kita saat ini. Bagaimana kebudayaan suatu daerah tidak akan cepat punah jika dilandasi oleh sikap acuh tak acuh dan menganarkiskan otak dengan sebuah bentuk pemikiran yang sesat seperti ini?

Permasalahan-permasalahan yang ritmik dan terkesan konstan itu harus sesegera mungkin diatasi. Dalam kaitannya dengan penyelewengan Bahasa Indonesia, ada baiknya jika pemerintah mendeklarasikan suatu program dimana para masyarakat asli Indonesia dan para orang asing yang berdomisili dan bekerja di Indonesia dapat menguji seberapa besar kemampuan mereka memahami tata bahasa Indonesia seperti TOEFL di Inggris. Sebuah saran yang unik yang mungkin tidak sempat terpikirkan oleh kita semua, begitu juga dengan kapasitas terpeliharanya bahasa daerah sebagai cirri khas dari beragamnya suku dan budaya di Indonesia. Lampung sebagai contoh dari salah satu suku di Sumatra yang mengalami krisis dan kemunduran dalam penggunaan Bahasa Lampung sebagai identitasnya. Mengapa tidak kita mulai dari diri sendiri? Kesadaran untuk mencintai diri sndiri merupakan bekal awal untuk dapat cinta pada tanah air. Kalau bukan sekarang, kapan lagi dan kalau bukan kita siapa lagi yang harus terjun utuk mengatasi dilemma yang menyerang keaslian budaya dan bangsa kita.


Sudah selayaknya dan sepatutnya kita mulai menyadari sikap Nasionalisme Berbangsa dan Berbudaya itu sebagai bentuk dari tanggung jawab untuk meneruskan cita-cita bangsa yang luhur ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar